Percaya
Bukan pertama kali aku membaca saran cinta di social media
bahwa ‘percaya’ adalah kunci ‘selamanya’. Tapi, pernah aku menggunakannya?
Nggak, karena aku nggak butuh sebelumnya. Ya, sebelumnya, karena sekarang aku
super membutuhkannya.
Seperti yang aku analogikan sebelumnya. Dia meletakkanku
dalam ruang aman dan terkendali, dan penuh cinta tentunya. Setelah itu dia akan
meninggalkanku untuk berkelana dalam dunianya. Ada banyak hal yang harus
disiapkan sebelum aku datang kesana. Aku harus nyaman, aman, tentram,
terkendali, di masa depan, katanya. Aku mungkin bisa saja bilang, “Aku mau
diajak hidup susah”, tapi dia nggak akan mau menerimanya secara Cuma-Cuma.
Kenapa? Karena dia tangguh, dan dia tau dia mampu lebih dari itu.
Aku menghargainya. Sangat.
Tapi mungkin masalah utama bagi wanita adalah otaknya. Aku
memikirkan hal yang nggak pernah jadi nyata. Aku mempercayai mimpi. Aku
menghalusinasikan cerita cinta sedih orang seolah itu punyaku. Dan lain
sebagainya. Akibatnya? Nggak banyak. Hanya membuat lelahnya makin runyam karena
kuhantui dengan ke-overthinking-an. Dia harus membuat aku redam.
Makin sulit membuat tenang dengan ribuan batasan. Senjatanya
Cuma bicara, dan buatku… itu cukup. Kenapa? Karena sekali lagi, aku percaya.
Seperti yang dia bilang, semua orang bisa memotong daging tanpa sentuhan. Tentu saja, dengan pisau. Dan dalam hal ini, aku dan dia seakan punya pisau yang super tajam. Tentu saja, masalah adalah dagingnya, yang pada akhirnya kita nikmati bersama.
Harap-harap cemas, aku semogakan kita benar-benar berakhir di pelaminan. Aku nggak mau ada kisah sedih karena kebodohan kita. Semoga aku juga benar kalau kita serius saling cinta, bukan sebatas… apa saja yang kamu coba umpamakan sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar