Bukan Hal Baru

Entri ini saya tulis hari ini. Ada beberapa hal yang ingin saya luruskan pada seseorang. Diantaranya, tentang keadaan saya sekarang, apa yang saya pikirkan, tanggapan saya tentang keputusan yang sudah ia tetapkan sendirian, dan harapan saya untuk dia di waktu yang akan dating.

Saya sudah membacanya sejak lama, bahwa situasi ini sangat tidak bagus untuk manusia seperti saya dan dia. Ini bukan soal cinta, cinta mah apa…. ini soal apa yang ada di hati saya dan dia. Tidak naif, di usia setua ini, tidak mungkin kami menyerahkan seluruh hati pada satu pendatang yang disebut belahan jiwa. Allah, agama, orang tua, kewajiban, cita-cita, kawan-kawan yang lebih dahulu bertemu kita… semuanya butuh tempat juga.

Ibaratnya, saat dia datang, saya membuka ruang yang masih kosong untuk dia tempati. Mungkin menurut dia ini hal mudah bagi saya, karena mudahnya saya menaruh perhatian didepannya? Atau mungkin dia sudah tau bahwa ini juga tidak mudah bagi saya. Saya nggak paham. Yang jelas, saya tahu bahwa hal ini sangat sulit untuk dia. Rasanya, seperti tidak ada celah bagi saya, atau entah bagaimana sehingga celahnya memang bukan untuk saya.

Akhir-akhir ini saya mulai percaya bahwa dia berjuang mati-matian untuk masa depannya, yang kadang seolah ada saya didalamnya, kadang saya diusir tiba-tiba. Padahal saya diam. Ya, ini poin pusingnya, saya nggak tahu kapan amunisi ini akan datang, saya harus siap tiap saat. Gilanya lagi, tidak ada jaminan bahwa saya akan dipanggil lagi.

Tapi ini terlalu sering, tapi saya nggak akan pernah terbiasa juga. Masih sakit, masih nangis, tapi saya nggak kenapa-kenapa. Hanya saja kadang mikir, kenapa saya wanita? Andai saya di posisi pria, mungkin nggak akan seribet ini.

Kadang saya juga mikir, dia gimana? Boleh nggak saya hubungi sekarang? Ah, sepertinya baik-baik aja. Mana ada dia mikirin ini seharian seperti saya? Dia kan pria, rasanya 1, akalnya 9. Katanya sih gitu. Semoga saja.

Menurut saya sebagai manusia berakal yang tidak gila, keputusan dia benar, nggak salah kalo dia cari aman. Yang salah itu saya. Jadi, lanjutkan saja. Seperti katanya, kalau memang kita ditakdirkan Bersama ya sudah, kalau nggak… berarti dia sudah ketemu yang lain.

Harapan saya tentu saja supaya dia datang lagi, membawa kejutan kebahagiaan masa depan untuk saya dan dia. Tapi, aneh rasanya saat nulis harapan yang ini. Saya nggak tahu siapa yang saya ragukan, tapi saya ragu. Saya sakit ingat dia pernah bilang dia yakin, tapi membebani sekali kalau saya ungkit yang ini lagi. Padahal, bisa saja dia ngetik sambil mimpi.

Lalu, kalau ternyata harapan saya memang tidak bisa dia wujudkan, saya harap dia tidak akan minta maaf. Ini pertama kali untuk saya, jadi tolong biarkan saya jadi protagonist sampai akhir cerita. Dia tahu, sesalah apapun dia, kalau dia minta maaf, saya yang kalah. Jadi, kalau hal yang tidak saya inginkan terjadi, tolong biarkan saya menang.

Terimakasih

Komentar