Menyerah Sebentar

Aku tadi gagal. Gagal untuk mematikan rasa yang tiga hari belakangan tidak lagi kewalahan. Iya, kewalahan. Setiap aku merasa kita menjalin rasa, aku kewalahan menampung bahagia, sampai lupa berdoa. Jelas saja kamu diambil lagi akhirnya, bahagiaku tak berdasar.

Maaf untuk memulangkan kamu sebelum selesai dunia berputar. Aku tidak sengaja. Untuk menikmati untaian hari dengan tanpa menjaga kesucianmu, aku juga tidak sengaja. Bodohnya aku sebab tak pernah ingat segala sesuatu yang aku pelajari dulu. Bahwa tidak ada kita sebelum akad bersua.

Huah. Lagi dan lagi yang aku bicarakan hanya akad saja. Aku benci aku sendiri. "Maa fii qalbi ghairullah" rapalnya sore ini, tapi hati tetap bergejolak ingin mengirim pesan lagi. Sungguh, sakit melihat akhir dari percakapan ini. Malu menyadari bahwa akulah satu satunya yang kembali khilaf lagi setiap waktu.
Warna hijau itu menenangkan, kecuali jika berada di akhir balon percakapan.
 Aku harap imanmu sekuat baja, tidak akan luruh dengan aku yang hanya sebatas api ibu kota. Pun, semoga istiqomahmu sekuat malaikat, tidak akan tergoda oleh apapun yang seolah pantas dilaknat. Nggak apa apa, sampai hari ini, aku masih kuat.

Komentar